Senin, 19 April 2010

TANGGUNG JAWAB SEBUAH JANJI

Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar menepati janji dan menjaga sumpah. Kewajiban ini akan dimintai tanggung jawab nanti di hari kiamat. Setiap orang yang berjanji akan mempertanggungjawabkan soal pemenuhan janjinya di hadapan Allah Ta’ala. Berbahagialah setiap orang yang menepati janji. Ia akan mendapat ganjaran kenikmatan atas amal baiknya itu. Dan celakalah orang yang mengingkari janji yang telah dibuatnya.
Ada dua macam janji. Yakni janji seseorang kepada Allah dan janji seseorang kepada sesama manusia.
Allah telah mengambil janji dari seluruh hamba-Nya bahwa mereka harus mengibadahi-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu apapun dengan-Nya. Berbuat syirik tidaklah patut sama sekali. Karena Allah adalah Rabb semua makhluk. Allah yang menciptakan, memberi rejeki, mengatur urusan, dan berkuasa atas hidup dan mati semua makhluk.
Ingatlah, ketika sesembahan kita mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Dia mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". Allah lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat manusia tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lalai terhadap janji Ini (tauhid/keesaan Tuhan)".
Kita semua mempunyai janji dengan Allah. Kita sudah menyanggupi untuk mengesakan-Nya. Kita hanya mengakui bahwa Ia-lah satu-satunya yang berhak diibadahi. Maka, jika ada orang yang membangkang kepada Allah dan bahkan menyekutukan niat beramalnya dengan selain Allah maka berarti ia telah mengingkari janji.
Jenis janji kedua, yaitu janji kepada sesama hamba Allah. Baik janji muslim dengan muslim maupun janji muslim dengan bukan muslim. Janji yang harus kita tepati bukanlah hanya janji kita kepada sesama muslim. Bahkan janji kita kepada non muslim juga kita mesti berkomitmen untuk memenuhinya. Bila kita baca riwayat mengenai Rasulullah dan orang-orang shalih maka kita akan dapati mereka adalah sosok yang dikagumi oleh orang-orang non muslim, karena mereka adalah orang yang menepati janjinya.
Allah amat tidak senang kepada orang yang tidak memenuhi janji. Allah menasihati mukmin, Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. Jika seseorang berjanji lalu ia tidak menepatinya maka ia termasuk orang yang mengatakan apa yang tidak ia lakukan. Maka jika kita berjanji kepada salah satu teman bahwa kita akan menyimpan rapat-rapat rahasianya lantas kita bocorkan rahasia dia kepada orang lain, kita termasuk kategori mengatakan apa yang tidak kita perbuat. Allah amat murka terhadap kelakuan seperti itu. Allah amat mencintai orang yang menepati janji jika mereka berjanji.
Tanda kebaikan iman yang ada di dalam hati antara lain tekad dan kemampuan seseorang dalam memenuhi janji. Demikian juga, tanda kerusakan iman adalah suka mengingkari janji. Ada empat hal jika semua itu ada pada seseorang maka seseorang itu munafik yang murni. Sesiapa yang mempunyai sebagian sifat itu maka ia mempunyai sebagian sifat munafik hingga ia meninggalkannya. Sifat-sifat itu adalah jika berkata ia berdusta. Jika berjanji ia mengingkari. Jika dipercaya ia berkhianat. Jika berselisih ia melampaui batas.
Dusta itu dosa, merusak iman, dan menimbulkan kerusakan. Dusta itu mengabarkan yang tidak nyata. Memberitakan yang jauh terlihat dekat.
Mengingkari janji itu dosa, merusak iman, dan menimbulkan kerusakan. Juga, sangat mengecewakan. Bila diperbuat berkali-kali, ia akan menghilangkan kepercayaan.
Pengkhianatan itu terasa pahit, dosa, merusak iman, dan menimbulkan kerusakan.
Ia juga menebar rasa permusuhan. Memporakporandakan persatuan.
Janji itu dibuat dengan hati-hati supaya bisa ditepati.

Mengutamakan dan melayani

Orang yang memberi minum kepada suatu kaum, baik berupa susu, air, kopi, atau teh hendaklah menjadi orang terakhir yang minum. Tujuannya adalah agar muncul sikap mengutamakan orang lain dalam dirinya. Jika ada kekurangan maka dialah yang menanggung kekurangan itu. Juga supaya semakin sempurna pertumbuhan sifat melayani kepada orang lain. Karena, sifat dan sikap semacam inilah yang akan membuat hidup bersama semakin indah.

Berkata yang jelas dan mudah dipahami

Kita senantiasa berkebutuhan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Ada begitu banyak kebaikan yang hanya kita bisa hasilkan apabila berhubungan dengan orang lain. Untuk itulah, jika ingin sukses menghasilkan kebaikan yang banyak maka wajiblah bagi kita meningkatkan keterampilan diri dalam berkomunikasi. Keterampilan yang rendah dalam berkomunikasi betul-betul akan memperlambat kesuksesan upaya menyampaikan maksud baik kita kepada orang lain atau menerima maksud baik orang lain yang disampaikan kepada kita.

Jika berbicara dengan orang lain, seseorang hendaklah berbicara dengan kata-kata yang jelas. Tidak terburu-buru dalam pengucapan kata dan kalimat. Tidak menyembunyikan sesuatu yang mestinya ia jelaskan. Hendaklah ia mengusahakan ucapan yang rinci dan jelas sehingga kawan bicara mengerti tanpa adanya kesulitan dan hambatan yang berarti.

Tidak jarang kita saksikan orang yang bicara dengan begitu cepat. Kata-kata yang keluar terdengar seperti orang bergumam. Kawan bicaranya berkata, ”Apa yang baru saja kamu katakan?” Cara seperti ini bukanlah cara yang baik. Tidak selaras dengan cara yang diajarkan dan dicontohkan Nabi. Beliau mencontohkan dengan baik berbagai upaya berkata yang jelas dan indah hingga mudah dipahami kawan bicara.

Aisyah memberi kesaksian tentang cara berbicara Rasulullah. Pembicaraan Rasulullah adalah rinci. Tidak ada huruf yang tumpang tindih dengan huruf yang lain. Tidak ada kalimat yang menjadi samar karena bercampuran tumpang tindih dengan kalimat lain. Jika ada tukang hitung hendak menghitung kata-kata yang beliau ucapkan niscaya ia akan bisa hitung kata-kata yang terucapkan oleh lisan Nabi. Beliau begitu berhati-hati dan lihai dalam bicara.

Demikianlah seharusnya kita bicara. Isinya bermutu, pengucapannya jelas, indah, memahamkan pendengar dan mempengaruhi kebaikan. Begitulah, maksud pembicaraan tercapai. Karena maksud pembicaraan adalah memahamkan orang yang mendengarkannya. Jika ada cara yang memudahkan pembicaraan dipahami maka itulah cara yang lebih baik dan lebih utama.

Pemilihan kata dalam bahasa yang kita gunakan untuk berkomunikasi dengan suatu kaum begitu penting kita perhatikan. Agar pembicaraan kita terasa terang dan jelas bagi pendengar. Tidaklah cukup seorang pembicara berupaya mengucapkan kata-kata dengan jelas. Pendengar tetap saja akan kesulitan jika kalimat yang terdengar, tersusun oleh kata-kata dari bahasa yang ia tidak mengerti.

Sebagian pembicara tidak peka dan tidak menghayati keadaan pendengar. Ia berbicara dengan gaya bahasa dan pilihan kata yang cocok untuk suatu kaum padahal ia sedang bicara dengan kaum yang tidak pandai memahami kata-katanya. Saat ia bicara dengan penduduk desa yang tidak lulus SD atau SMP, tetap saja banyak istilah keinggris-inggrisan yang biasa ia gunakan di forum diskusi para sarjana. Para pendengar terangguk-angguk tapi tidak paham apa yang ia dengar. Ia dianggap pintar tapi maksud pembicaraannya tak tercapai.

Sebagian pembicara tidak fasih mengucapkan kata-katanya. Tidak jelas hingga sebagian pendengar berkerut dahi dan menduga-duga apa sebenarnya kata yang ia dengar.

Nabi mencontohkan pengulangan kata-kata hingga tiga kali sebagai usaha untuk memahamkan pendengar. Jika sekiranya perkataan sudah dipahami maka tidaklah perlu dilakukan pengulangan. Kita mendapati bahwa sabda beliau di begitu banyak khutbah di hadapan berbagai kelompok masyarakat tidak diulang-ulang pengucapannya. Tetapi jika pendengar belum paham karena tidak mengetahui arti kata dengan baik maka beliau mengulangi hingga orang tersebut paham. Atau jika disebabkan sulit didengar karena jarak ataupun karena adanya kebisingan maka beliau mengulanginya.

Jika memberi salam, beliau ulang hingga tiga kali. Tidak lebih dari tiga kali. Jika sudah mendatangi suatu rumah dan telah memberi salam tiga kali namun tidak mendapat jawaban maka beliau pergi meninggalkan.

Demikian juga ketika meminta ijin untuk memasuki rumah seseorang. Beliau mengetuk pintu dan meminta ijin tiga kali. Jika tidak ada jawaban beliau pergi meninggalkan.

Begitulah upaya memperjelas pesan komunikasi kepada kawan bicara.